Sabang Kilometer 0,

Legenda mengatakan, ada sepasang tugu kembar di ujung-ujung Indonesia, yang satu di Sabang; satunya di Merauke, yang mana keduanya dipisahkan oleh ribuan pulau-pulau yang menyambung menjadi satu, Indonesia. Sabang terletak di ujung barat Indonesia pada provinsi Daerah Istimewa Aceh, sementara Merauke terletak di ujung timur Indonesia pada provinsi Daerah Khusus Papua. Dua daerah yang mengapit 32 provinsi lainnya di Indonesia.
Namun tak ada yang mengatakan, bahwa perjuangan untuk menemukan kedua tugu itu tak sesingkat lagu yang digubah oleh R. Suharjo, sebuah lagu perjuangan berjudul Dari Sabang sampai Merauke
.
Dari Sabang sampai Merauke
Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia
 
Saya memacu sepeda motor sewaan dengan cepat, terlalu lama bermain-main di Iboih Inn sepertinya telah membuat saya terlena dengan waktu. Padahal empat puluh menit lagi, matahari diperkirakan akan tenggelam di titik paling barat Indonesia tersebut.
“Sekitar setengah tujuh, lah.” Saya mengingat pesan Ibu Liza, si pemilik Iboih Inn, menjawab pertanyaan saya mengenai kapan matahari akan tenggelam di Kilometer Nol.
Sebelumnya, saya memang telah mendapatkan informasi bahwa tempat paling tepat untuk menikmati sunset di Pulau Weh adalah di titik kilometer nol, yang merupakan ujungnya Pulau Weh, “Dari sini ke Kilometer Nol, berapa lama, Bu?”
“Jaraknya sih sekitar delapan kilometer.” Ucapnya “Ya kira-kira setengah jam, lah, kalau pakai motor.”
Ya, delapan kilometer. Ya, setengah jam. Tapi Bu Liza tidak menyebutkan apabila perjalanan ke Kilometer Nol menempuh jalan yang berliku, sepi, –tanpa ada petunjuk kapan jalan beraspal tersebut akan berujung– dan membutuhkan ketangkasan berkendara sepeda motor, terlebih dengan gas di tangan kanan, dan tongsis di tangan kiri.
Dua puluh lima menit pertama, mungkin saja menjadi pengalaman saya dengan sepeda motor yang paling mendebarkan saat itu.
“Jalannya hanya satu kok, jadi kamu gak akan nyasar.” Demikianlah nasihat terakhir yang saya dapatkan dari Ibu Liza. Setelah sempat takut dipalak di tengah jalan oleh segerombolan siswa STM yang cabut, sampailah saya di sebuah keramaian seusai menembus hutan gelap di kanan termasuk melewati sebuah tugu dan beberapa penanda jalan yang tampak tak menarik.
Warung Kilometer Nol
Warung-warung di Kilometer Nol
Saya memarkir motor pada sebuah lahan kosong setelah warung di pinggiran tebing yang telah dibangun pagar yang memisahkannya dengan laut di bawahnya, dan sempat sedikit kecewa bahwa ternyata keramaian yang saya lihat di situ adalah kumpulan manusia yang menanti matahari tenggelam, bukan menanti saya.
Di seberang saya, terdapat sebuah bangunan tinggi menjulang, dengan cat berwarna biru dan putih yang usang, dan beberapa perbaikan di sana sini. Nampak sebuah poster di samping tulisan “KILOMETER 0 INDONESIA” yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut sedang direnovasi untuk nantinya akan dibangun Monumen Titik Nol Indonesia.
 

Kilometer 0 Indonesia (tas selempang oleh Fossil Urban Icon)
Penasaran akan apa yang ada pada bangunan tersebut, saya mulai mendaki anak tangganya dan menemukan sebuah prasasti kecil di sana. Sebuah prasasti yang bertuliskan “Penentuan posisi geografis tugu kilometer 0 Indonesia di Sabang ini diukur oleh para pakar BPP Teknologi dengan menerapkan teknologi satelit Global Positioning System (GPS)”. Di bawahnya, tertera tanda tangan Menristek legendaris Indonesia Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie (B.J. stands for Bacharuddin Jusuf, just in case you have dirty mind) sementara di baliknya memaparkan posisi geografis Kilometer Nol Indonesia tersebut.
Letak Geografis Kilometer 0
Letak Geografis Kilometer Nol
Berikutnya, saya bergabung bersama para manusia tadi, menantikan sunset. Secara sekilas, terdapat dua jenis manusia di sana, yaitu yang berpasangan dan saya. Sedari SD saya mendapat pelajaran bahwa matahari selalu terbit dari timur dan tenggelam di barat, kecuali Matahari Department Store. Dan menyaksikan matahari tenggelam di titik paling barat Indonesia, adalah sebuah keindahan sendiri yang tak dapat diungkapkan dengan bahkan dengan kata-kata Mario Teguh sekalipun.
Bulatan sempurna sang surya, perlahan turun dengan menyisakan pendar keemasan di langit. Sunset yang membuat saya tak mau beranjak dari situ, namun gigitan seekor nyamuk yang datang bersama segerombolan kawannya menyadarkan saya untuk segera kembali ke penginapan.
Sunset di Kilometer 0
Sunset di Kilometer Nol
Brown, sang babi hutan penunggu kilometer Nol sempat muncul ketika saya hendak pergi. Untuk saat itu, terjawab sudah separuh rasa penasaran saya tentang adanya tugu kembar di ujung Indonesia. Berikutnya, tinggal pergi ke Merauke.
Tentunya setelah saya berhasil kabur dari gigitan nyamuk-nyamuk buas di Kilometer Nol Sabang ini, dan sukses mengendarai motor seorang diri menembus gelapnya malam tanpa lampu jalan di Pulau Weh.